PUNCAK JAYA - Ketegangan di Papua kembali memanas. Kelompok bersenjata TPNPB-OPM melontarkan pernyataan kontroversial, menolak pembangunan pos militer di Puncak Jaya dan sembilan wilayah lain yang mereka sebut 'zona perang'. Lebih jauh, mereka mengancam akan menyerang aparat TNI-Polri dan mengusir warga non-Papua.
Menanggapi hal ini, pemerintah dengan tegas membantah narasi yang dibangun TPNPB-OPM. Menurut pemerintah, pernyataan tersebut tidak berdasar dan bertentangan dengan hukum nasional maupun hukum humaniter internasional. Kehadiran TNI di Papua, termasuk pembangunan infrastruktur pertahanan, adalah amanat konstitusi dan berjalan sesuai koridor hukum.
Pakar hukum tata negara, Prof. Dr. Hermawan Siregar, menggarisbawahi dasar hukum kehadiran TNI di wilayah rawan. “Kehadiran TNI bukan tindakan agresif, tetapi kewajiban konstitusional. Pasal 30 UUD 1945 dan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 secara eksplisit memberi mandat kepada TNI untuk menjaga keutuhan NKRI, termasuk mengatasi gerakan separatis bersenjata, ” tegas Hermawan. UU tersebut juga memberikan kewenangan kepada TNI untuk membangun sarana prasarana pendukung tugas, termasuk di daerah yang rentan gangguan keamanan.
Kepala Penerangan Kogabwilhan III, Kolonel Czi Ignatius Wahyu, menekankan misi ganda TNI di Papua. “TNI di Papua membawa misi ganda—keamanan dan kemanusiaan. Kami menjaga masyarakat, mendukung pelayanan dasar, pendidikan, dan kesehatan, serta membangun komunikasi sosial dengan warga, ” ujar Kolonel Wahyu. Ia menambahkan bahwa seluruh operasi TNI dijalankan dengan prinsip proporsionalitas dan penghormatan terhadap HAM.
Ancaman TPNPB-OPM untuk menyasar masyarakat non-Papua, serta serangan yang pernah mereka lakukan terhadap tenaga pendidik, medis, pekerja infrastruktur, hingga fasilitas umum, dinilai sebagai pelanggaran serius. Pengamat keamanan nasional, Dr. Dion Prasetyo, mengkategorikan tindakan tersebut sebagai terorisme berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2018. “Serangan yang menimbulkan ketakutan massal pada warga sipil adalah definisi terorisme dalam UU Terorisme. TPNPB tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga melanggar prinsip dasar hukum humaniter internasional, ” jelas Dion. Pola serangan TPNPB yang membabi buta jelas melanggar prinsip *distinction*, *proportionality*, dan *precaution*.
Pemerintah menegaskan bahwa pembangunan pos TNI di wilayah rawan bertujuan untuk melindungi masyarakat dan memastikan pemerataan pembangunan. Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Brigjen TNI (Purn) Ahmad Sunardi, menyampaikan, “Negara hadir melalui TNI untuk menjamin hak dasar seluruh warga. Penyebaran pos militer adalah langkah strategis untuk melindungi masyarakat sipil dan memastikan pembangunan tetap berjalan. Tidak ada tindakan yang berada di luar koridor hukum.” Ia juga menekankan bahwa setiap operasi TNI memiliki mekanisme akuntabilitas dan pengawasan internal-eksternal.
Pemerintah menyerukan agar masyarakat tidak terprovokasi oleh narasi intimidatif TPNPB-OPM. Negara menegaskan bahwa kekerasan tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum. “NKRI tidak memberi ruang bagi kelompok bersenjata yang menebar teror. Namun pendekatan yang kita pilih tetap humanis, terukur, dan menjunjung HAM, ” pungkas Brigjen Sunardi. Minggu (7/12/2025).


















































