Pengembalian Rp6,6 Triliun dan Merebut Kembali Kedaulatan SDA

2 hours ago 1

Agung Baskoro

Pengamat Politik, Direktur Eksekutif Trias Politika

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi

CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia --

Selama puluhan tahun, pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia berjalan dalam satu paradoks besar. Di atas kertas, konstitusi menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam praktik, penguasaan tersebut kerap tergerus oleh pembiaran, kompromi, dan tata kelola yang jauh dari prinsip keadilan serta akuntabilitas.

Amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan penguasaan SDA sebagai wujud kedaulatan rakyat. Negara diberi mandat untuk memastikan bahwa kekayaan alam tidak jatuh ke tangan segelintir pihak, apalagi dikelola dengan cara yang melanggar hukum dan merugikan kepentingan publik.

Namun selama bertahun-tahun, praktik pelanggaran di sektor kehutanan-mulai dari penguasaan kawasan secara tidak sah, manipulasi izin, hingga penghindaran kewajiban-justru menjauhkan negara dari amanat konstitusional tersebut. Dalam konteks inilah, penertiban kawasan hutan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto patut dibaca sebagai upaya merebut kembali mandat konstitusi yang lama terabaikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Momentum penertiban kawasan hutan yang disaksikan langsung Presiden di Kejaksaan Agung menandai titik balik penting. Bukan semata karena besarnya nilai penyelamatan keuangan negara yang mencapai lebih dari Rp6,6 triliun, atau luas kawasan hutan yang berhasil dikuasai kembali lebih dari 4 juta hektare. Tapi karena pesan yang dikirimkan negara: kedaulatan atas SDA tidak lagi berhenti pada norma, melainkan diterjemahkan dalam tindakan nyata.

Dalam perspektif kebijakan publik dan politik negara, penyelamatan uang negara di sektor SDA merupakan indikator paling konkret dari kapasitas negara (state capacity). Negara yang berdaulat bukan hanya negara yang mampu menyusun regulasi, tetapi negara yang sanggup menegakkan aturan secara konsisten, terukur, dan tanpa pandang bulu, meski berhadapan dengan kepentingan ekonomi besar dan praktik lama yang telah mengakar.

Selama ini, kebocoran di sektor SDA bersifat sistemik. Pelanggaran izin, penguasaan kawasan hutan secara ilegal, laporan fiktif, hingga praktik suap telah lama menjadi rahasia umum. Ironisnya, kondisi ini kerap dianggap sebagai realitas yang sulit disentuh. Negara seolah hadir secara administratif, tetapi absen secara substantif. Situasi inilah yang perlahan mengikis wibawa negara dalam mengelola kekayaan rakyatnya sendiri.

Di era pemerintahan Prabowo, pola tersebut mulai dipatahkan. Pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025, yang melibatkan Kejaksaan Agung, Polri, TNI, Kementerian Kehutanan, serta BPKP, menunjukkan keseriusan negara membangun arsitektur penegakan hukum yang terpadu. Ini bukan langkah simbolik, melainkan upaya merekonstruksi kembali otoritas negara yang selama ini terfragmentasi oleh ego sektoral dan kompromi kepentingan.

Yang patut diapresiasi, langkah ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa persoalan SDA bukan persoalan baru, dan tidak mungkin diselesaikan secara instan. Presiden secara terbuka mengakui bahwa penyimpangan di sektor SDA telah berlangsung puluhan tahun, melibatkan praktik-praktik yang terstruktur dan mengakar. Pengakuan semacam ini penting, karena menunjukkan bahwa negara tidak menutup mata terhadap kompleksitas masalah yang dihadapi, sekaligus menyadari bahwa membongkar praktik lama bukan pekerjaan mudah.

Penertiban kawasan hutan juga harus dipahami sebagai upaya mengembalikan hak publik. Setiap rupiah yang bocor dari sektor SDA sejatinya adalah hak rakyat yang hilang-hak atas pendidikan yang lebih layak, hunian pascabencana, layanan kesehatan, dan perlindungan sosial. Ketika Presiden menyebut bahwa Rp6 triliun saja dapat digunakan untuk membangun sekitar 100 ribu rumah hunian tetap bagi korban bencana, publik diingatkan bahwa isu SDA bukan isu elitis, melainkan menyentuh langsung kehidupan masyarakat luas.

Lebih jauh, langkah ini sekaligus menata ulang relasi antara negara dan korporasi. Investasi tidak lagi ditempatkan di atas hukum, tetapi di dalam koridor hukum. Pesan yang disampaikan jelas: negara tidak menutup pintu bagi dunia usaha, tetapi menegaskan bahwa kepatuhan adalah prasyarat utama. Dalam jangka panjang, kepastian hukum justru menjadi fondasi bagi iklim investasi yang sehat dan berkelanjutan.

Tentu, pekerjaan ini masih jauh dari selesai. Presiden sendiri menegaskan bahwa capaian hari ini baru permulaan, dan potensi kerugian negara yang belum tertagih masih sangat besar. Namun justru di sinilah nilai penting dari langkah awal ini. Pemerintahan saat ini mulai membuka kembali tabir praktik-praktik yang selama ini jarang disentuh, dan keberanian untuk menguak persoalan lama patut diapresiasi, karena proses tersebut tidak pernah mudah dan selalu mengandung risiko politik maupun tekanan ekonomi.

Jika konsistensi ini terus dijaga, maka penertiban kawasan hutan tidak hanya akan dikenang sebagai kebijakan sektoral, melainkan sebagai fase penting dalam perjalanan pemerintahan: fase ketika negara mulai berhenti berdamai dengan kekacauan tata kelola dan memilih untuk berdiri tegak menjalankan mandat konstitusi.

Pada akhirnya, kedaulatan negara atas sumber daya alam bukanlah tujuan akhir, melainkan prasyarat bagi terwujudnya keadilan sosial. Dan keberanian untuk memulainya, seperti yang terlihat hari ini adalah langkah penting yang layak diapresiasi dan dikawal bersama.

(sur)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sekitar Pulau| | | |