Kehadiran TNI di Papua: Langkah Konstitusional, Bukan Penindasan

4 hours ago 5

PAPUA - Di tengah meningkatnya propaganda kelompok bersenjata di Tanah Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kembali melontarkan ancaman terhadap aparat TNI-Polri dan masyarakat sipil. Mereka menolak pembangunan pos militer di Puncak Jaya serta sembilan wilayah lain yang disebut sebagai “zona perang, ” bahkan mengultimatum warga non-Papua untuk meninggalkan daerah tersebut. Minggu (19/102/2025).

Namun, pernyataan provokatif itu dinilai menyesatkan dan tidak memiliki dasar hukum. Kehadiran TNI di Papua, termasuk pembangunan pos militer, merupakan langkah konstitusional dan sah secara hukum negara, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 30, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang susunan organisasi TNI.  

Menurut Panglima Komando Operasi (Pangkoops) Habema, Mayjen TNI Lucky Avianto, pembangunan pos militer bukan bentuk penindasan, melainkan tanggung jawab konstitusional dalam menjaga kedaulatan negara dan melindungi rakyat dari ancaman separatis bersenjata.  

“Kehadiran TNI di Papua bukan untuk menakut-nakuti atau menindas masyarakat. Kami hadir untuk melindungi mereka dari kekerasan bersenjata, menjamin rasa aman, dan memastikan pembangunan nasional berjalan tanpa gangguan, ” tegas Mayjen Lucky di Jayapura, Minggu (19/10/2025).  

Mayjen Lucky menambahkan, penempatan pos militer di wilayah rawan seperti Puncak Jaya merupakan langkah strategis untuk mencegah eskalasi kekerasan dan melindungi warga sipil dari aksi brutal kelompok bersenjata.  

“Setiap pos yang dibangun memiliki dasar hukum dan fungsi kemanusiaan. Prajurit TNI ditugaskan tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga membantu masyarakat dalam pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial lainnya, ” ujarnya.  

Pendekatan TNI di Papua kini mengedepankan sisi humanis dan teritorial sebagaimana diamanatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua. Prajurit tidak hanya membawa senjata, tetapi juga membawa program yang menyejukkan hati rakyat.  

Hal ini diakui oleh Pendeta Elianus Tabuni, tokoh agama dari Kabupaten Lanny Jaya, yang kerap berinteraksi dengan prajurit di lapangan.  

“Anak-anak TNI itu datang bukan untuk perang, tapi untuk hidup bersama kami. Mereka membantu membangun rumah ibadah, membawa obat, dan ikut beribadah bersama. Masyarakat sekarang melihat mereka sebagai saudara, bukan tentara penjaga, ” ungkap Pendeta Elianus dengan mata berkaca-kaca.  

Sementara itu, akademisi Universitas Cenderawasih, Dr. Yulius Wonda, menilai kehadiran TNI di Papua merupakan bentuk nyata pelaksanaan fungsi pertahanan negara.  

“TNI hadir berdasarkan mandat undang-undang, bukan karena kepentingan politik. Tugas mereka justru memastikan hak-hak masyarakat adat terlindungi dari ancaman kekerasan bersenjata dan gangguan terhadap pembangunan, ” jelasnya.  

Sebaliknya, tindakan kelompok TPNPB-OPM yang menyerang warga sipil, tenaga kesehatan, guru, dan pekerja infrastruktur dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap Hukum Humaniter Internasional serta UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.  

Dalam konteks itu, pemerintah bersama TNI berkomitmen melaksanakan setiap operasi dengan prinsip profesionalitas, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap HAM.  

“Negara tidak akan mundur melindungi rakyatnya. Papua adalah bagian sah dari NKRI, dan setiap warga di tanah ini berhak hidup dalam damai, sejahtera, dan bebas dari ketakutan, ” tutup Mayjen Lucky Avianto.  

Kehadiran TNI di Papua bukanlah simbol kekuatan senjata, melainkan lambang kasih negara kepada warganya. Di tengah segala keterbatasan, prajurit terus hadir bukan untuk menindas, tetapi untuk merangkul, melindungi, dan memastikan Tanah Papua tetap damai di bawah merah putih.  

(Sus/AG)

Read Entire Article
Sekitar Pulau| | | |