OSINT dan Jurnalisme Indonesia di Era Disrupsi

4 hours ago 1
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Industri media di Indonesia menghadapi tantangan besar, bukan saja secara bisnis, melainkan juga dalam strategi penyajian berita di tengah disrupsi teknologi komunikasi dan opini publik yang semakin massif dan terfragmentasi.

Berbagai platform media tumbuh, baik yang dikelola secara amatir maupun profesional. Platform-platform ini, yang diikuti oleh ribuan hingga jutaan orang di internet, menyajikan beragam informasi dengan berbagai metode verifikasi dan format pemberitaan. Bahkan, ada yang tanpa verifikasi.

Misinformasi dan hoaks semakin marak dan menyebar cepat. Namun, kecepatan dan akurasi juga menjadi lebih penting dari era-era sebelumnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di tengah belantara itu, sebagian media dan jurnalis di Indonesia tetap mempertahankan cara kerja lama, terutama dalam proses produksi dan verifikasi berita. Sebagian lain mulai memanfaatkan perkembangan teknologi open source

Bagaimana berita diproduksi?

Sebagian media dan jurnalis masih mengandalkan proses produksi berita, verifikasi fakta dan data lewat pernyataan resmi pemerintah, ucapan langsung narasumber, atau lewat temuan di lokasi kejadian.

Ayu, seorang reporter untuk media online yang biasa meliput isu perkotaan di Jakarta, telah aktif mengawal agenda-agenda Pemprov DKI Jakarta sejak 2017. Balai kota ibarat kantor kedua bagi Ayu.

Isu-isu perkotaan, baik yang ia dapatkan secara langsung lewat reportase lapangan atau yang berkembang di media sosial, hampir selalu ia konfirmasi ke Pemprov DKI.

"Fokus saya agenda-agenda gubernur," kata Ayu beberapa waktu lalu.

Ayu bilang, banyak isu atau permasalahan di Jakarta terungkap di media sosial. Sebagian lain adalah temuan di lapangan, atau protes warga atas persoalan publik. "Dari temuan itu, kami tindaklanjuti di lapangan. Kami wawancara warga secara langsung," katanya.

Temuan persoalan Jakarta pada akhirnya juga membutuhkan verifikasi Pemprov DKI. Hal yang menurutnya merupakan cara kerja tradisional.

Ayu menyadari ada persoalan bahwa pernyataan atau data-data yang dikeluarkan pemerintah, tak menjamin akurasi pemberitaan. Selalu ada kemungkinan kekeliruan atau kesalahan data.

"Oleh karena itu kami mengandalkan pernyataan pemerintah, karena sulit mendapatkan data secara cepat. Karena itu, trust sangat penting. Dalam hal apakah data pemerintah akurat, kami mempercayainya karena data itu keluar dari pernyataan gubernur. Toh, gubernur tak bisa sembarangan bicara, ucapannya harus akuntabel," ujar Ayu.

Ayu mengakui cara kerja tradisional membuat kedalaman berita tidak tereksplorasi. Namun, saat ini kecepatan lebih dikejar daripada kedalaman berita. Pakem ini, kata Ayu, berlaku bagi media online mainstream di Indonesia.

"Kesan yang terasa, kami seolah berkompetisi untuk saling cepat mem-publish berita," ujar Ayu.

Tuntutan kecepatan pemberitaan juga diakui oleh Dian, seorang reporter stasiun radio swasta. Menurutnya, kecepatan jadi sesuatu yang tak bisa dihindari dalam industri media hari ini.

Dian menyiasati kecepatan dengan mempublikasikan atau melaporkan sebagian kecil dari hal atau peristiwa yang telah terjadi.

"Dan kami selalu menyatakan dengan jelas bahwa [berita] ini adalah informasi awal. Setelah itu kami lanjutkan dengan verifikasi," kata Dian.

Jurnalisme radio, kata Dian, sangat bergantung pada komunikasi langsung. Proses verifikasi pun demikian, didapat dari pernyataan atau temuan langsung di lapangan. Karena itu, Dian menyebut alat kerja yang ia gunakan tak banyak.

Selama bekerja Dian mengandalkan dua buah telepon, yang masing-masing digunakan untuk merekam dan melaporkan peristiwa. "Kami tidak menggunakan banyak aplikasi. Kebanyakan informasi berasal dari pernyataan langsung atau temuan di lapangan," katanya.

Apa yang dituturkan oleh Ayu dan Dian ini mencerminkan kultur redaksi yang masih terpaku oleh aksesibilitas informasi ke pejabat, temuan hasil reportase langsung, dan kecepatan publikasi.

Metode tersebut efektif, namun, ada kalanya tidak memadai alias memiliki keterbatasan. Pada saat informasi disembunyikan, ditunda, dimanipulasi, atau menyesatkan secara visual, verifikasi tradisional seringkali tidak cukup.

OSINT dan jurnalisme Indonesia

Dalam keterbatasan itu, OSINT (Open-Source Intelligence) bisa jadi solusinya.

OSINT merujuk pada praktik pengumpulan, analisis, dan verifikasi informasi menggunakan sumber online yang tersedia secara publik. Sumber-sumber ini dapat mencakup citra satelit, postingan media sosial, video, catatan pemerintah, data pengiriman dan penerbangan, registrasi perusahaan, dan platform pemetaan.

Materi dari OSINT tidak berasal dari dokumen bocoran, melainkan dari sumber yang sepenuhnya dapat diakses secara legal oleh siapa saja.

Apa yang membedakan OSINT dari riset internet biasa bukan dari asal informasi itu, tapi bagaimana secara sistematis informasi itu diverifikasi, didokumentasikan, dan dikontekstualisasikan sebelum digunakan dalam pelaporan.

Dalam jurnalisme, OSINT memungkinkan reporter untuk memverifikasi klaim secara independen tanpa mengandalkan pernyataan resmi atau wawancara.

Seorang jurnalis yang menggunakan OSINT bisa melakukan geolokasi video viral untuk mengkonfirmasi di mana itu difilmkan, menganalisis citra satelit untuk melacak kerusakan lingkungan dari waktu ke waktu, atau memeriksa catatan publik untuk mengungkap hubungan perusahaan yang tersembunyi.

Metode-metode ini sangat penting ketika akses ke sumber terbatas, ketika pihak berwenang menyangkal, atau ketika saksi mata tidak dapat bersuara secara publik.

OSINT tidak bisa sepenuhnya menggantikan metode verifikasi tradisional, namun bisa memperkuat, menambahkan lapisan verifikasi baru yang membantu jurnalis menjelaskan tidak hanya apa yang terjadi, tapi bagaimana mereka tahu itu terjadi.

Aqwam, jurnalis investigasi sekaligus peneliti OSINT menyebut pemanfaatan OSINT dalam kerja-kerja jurnalisme di Indonesia belum sepenuhnya populer, namun memiliki tren yang berkembang.

"Ada peningkatan, tapi tidak merata. Beberapa media dan jurnalis independent sudah memanfaatkan OSINT secara serius," kata Aqwam.

Meski demikian ia pun mengakui tak sedikit media yang menganggap OSINT sekadar 'riset internet ekstra' atau menggunakannya hanya untuk kepentingan visual.

Tak seperti di negara-negara lain, di Indonesia menurutnya, para jurnalis masih menghadapi kendala struktural dalam memanfaatkan OSINT.

"Indonesia memiliki banyak persoalan untuk akses data. Banyak situs dan data-data yang tidak stabil, ada juga risiko sosial dan legal saat mempublikasikan temuan-temuan sensitif," katanya.

Kerja-kerja jurnalistik Aqwam banyak bergulat pada isu lingkungan dan industri ekstraktif, yang menurutnya, tak cukup berbekal data hasil wawancara atau ucapan narasumber.

"OSINT menjadi penting karena bukti-bukti kunci tak hanya berasal dari orang-orang yang diwawancara, tapi berasal dari apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," kata dia.

Bukti-bukti lapangan dalam liputan mengenai kerusakan alam, kerap sulit diakses secara fisik karena medan yang terpencil atau faktor keamanan. OSINT dapat mengungkapnya tanpa harus ke lokasi.

OSINT bisa memberikan citra satelit, peta, pergerakan kapal dan hal lain untuk membantu pemetaan atau melihat pola tertentu.

Saat sumber menolak diwawancara atau membantah sebuah peristiwa, atau ketika komunitas tertentu takut untuk bersuara, Aqwam meyakini bukti visual dari OSINT bisa menjadi kekuatan.

Aghnia, jurnalis data, menyebut perkembangan OSINT di Indonesia meski belum merata, tetapi memiliki tren positif.

Ia merujuk sejumlah laporan dan investigasi jurnalistik yang menggunakan OSINT, mulai dari kasus-kasus kriminal, kejahatan lingkungan hingga peristiwa bencana alam.

Meski demikian, Aghnia mengakui jika dibandingkan laporan-laporan investigasi internasional, Indonesia masih sangat terbatas dalam variasi penggunaan OSINT.

"Organisasi jurnalis seperti Bellingcat atau Lighthouse Report menggunakannya lebih teknikal, mulai dari melacak pergerakan kapal hingga menggunakan AI untuk mengidentifikasi landasan udara. Namun, Indonesia sudah di arah yang benar" katanya.

Ketika bukti dilihat, bukan diucapkan

Baik Aghnia dan Aqwam sepakat bahwa kekuatan metode OSINT terletak pada visibilitas atau keterlihatannya.

"Publik bisa melihat bukti," jelas Aqwam. "Saat kita menyajikan data satelit atau visual dari sebuah rekonstruksi, sangat sulit bagi aktor kuat sekalipun untuk membantahnya."

Catatan Aqwam, metode menggunakan OSINT membutuhkan waktu, skill, dan investasi sumber daya. Adalah keliru jika seorang jurnalis atau editor berpikir OSINT harus bisa digunakan secara cepat. "Karena verifikasi sesungguhnya membutuhkan waktu," ujar dia.

Sementara Aghnia menyoroti kendala di dalam dan luar redaksi. Dia berkata, harus ada keinginan dari manajemen di redaksi untuk berinvestasi pada sumber daya manusia dan peralatan.

"Wartawan dituntut untuk mempublikasikan secara cepat, bersaing untuk mendapat pembaca bahkan terkadang dituntut mendatangkan iklan. Ini bukan lingkungan yang sehat untuk kerja-kerja investigasi jurnalistik. Di luar, pembaca lebih memilih konten visual singkat. Sangat sulit untuk menyampaikan hasil kerja investigatif yang kompleks hanya dalam waktu 60 detik," ujarnya.

Keduanya juga menekankan pentingnya pola pikir atau mindset. Aghnia menyebut proses verifikasi tak lagi cukup dilakukan sekali, melainkan harus berulang.

Aghnia menegaskan verifikasi berulang memungkinkan jurnalis membangun sebuah laporan dengan argumen yang kuat.

Aqwam menyebut latihan atau training harus dimulai dari mindset. "Temukan, verifikasi, dokumentasikan, jelaskan," katanya.

Aqwam meyakini ke depan OSINT tak mungkin dihindari. Maraknya deepfakes dan konten-konten rekayasa akan mendorong jurnalis beradaptasi meningkatkan standar kerja mereka. Demikian pula kerja kolaboratif antarmedia di Indonesia, diyakini akan semakin penting.

Sekali lagi, OSINT tak akan menggantikan metode kerja dan verifikasi tradisional. Metode tradisional akan tetap menjadi tulang punggung outlet media mainstream. Namun, alat baru ini pelan-pelan telah mengubah bagaimana data, informasi, bahkan kebenaran ditetapkan.

Apakah OSINT dan jurnalisme data akan menjadi pakem integral di masa depan?

Tampaknya, hal itu tidak hanya ditentukan oleh perkembangan teknologi, melainkan juga oleh keinginan mengubah bagaimana wajah jurnalisme Indonesia: apakah bukti-bukti itu masih bisa dilihat atau cukup mengandalkan ucapan saja.

Catatan Redaksi: Laporan ini dikerjakan bersama Blake Quinn, mahasiswa The University of Newcastle, Australia, program studi jurnalistik, yang menjadi peserta magang Australian Consortium For In Country Indonesian Studies (ACICIS)

(qnn/wis)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Sekitar Pulau| | | |