JAKARTA - Pernyataan provokatif kembali dilontarkan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang menolak pembangunan pos militer TNI di wilayah Puncak Jaya dan sembilan daerah lain di Papua. Mereka bahkan mengancam akan menyerang aparat keamanan dan memerintahkan masyarakat non-Papua untuk meninggalkan wilayah tersebut.
Namun, langkah TNI membangun pos militer di Papua bukan bentuk provokasi atau penindasan, melainkan tindakan konstitusional yang sah dan berlandaskan hukum. Kehadiran aparat TNI di Papua memiliki dasar kuat dalam UUD 1945 Pasal 30, yang menegaskan bahwa TNI adalah alat negara untuk menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI juga memberikan mandat jelas bagi TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk mengamankan wilayah perbatasan dan menanggulangi gerakan separatis bersenjata. Pembangunan pos militer di wilayah rawan seperti Puncak Jaya merupakan bagian dari tugas pertahanan negara yang sah, bukan tindakan represif terhadap masyarakat.
TNI tidak hanya hadir untuk mengamankan wilayah, tetapi juga menjalankan misi kemanusiaan dan sosial. Melalui pendekatan teritorial dan program lintas sektoral, TNI aktif membantu pemerintah daerah memperkuat pelayanan dasar bagi masyarakat Papua, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat, di mana TNI berperan mendukung percepatan pembangunan dan menjaga stabilitas keamanan agar kegiatan pembangunan berjalan aman dan berkelanjutan.
Dalam menjalankan tugas di lapangan, TNI berkomitmen pada prinsip profesionalitas dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), sesuai ketentuan Hukum Humaniter Internasional. Setiap operasi dilakukan dengan perencanaan matang dan pengawasan ketat, guna meminimalkan dampak terhadap masyarakat sipil.
Sebaliknya, ancaman TPNPB terhadap warga sipil dan serangan terhadap tenaga kesehatan, guru, serta pekerja infrastruktur di Papua justru menunjukkan pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter Internasional.
Tindakan kekerasan yang menimbulkan teror di tengah masyarakat dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, terutama Pasal 6 dan 9.
Perbuatan kelompok separatis tersebut juga melanggar prinsip dasar hukum perang internasional, seperti:
* Distinction, kewajiban membedakan antara kombatan dan warga sipil;
* Proportionality, larangan menyebabkan kerugian besar terhadap warga sipil; dan
* Precaution, kewajiban melakukan tindakan pencegahan agar tidak menimbulkan korban non-kombatan.
Negara melalui TNI hadir di Papua bukan untuk menindas, melainkan melindungi seluruh warga negara, termasuk masyarakat asli Papua. Setiap langkah pengamanan yang dilakukan TNI berlandaskan prinsip legalitas, akuntabilitas, dan profesionalitas.
Kehadiran TNI di Papua adalah simbol nyata kehadiran negara dalam menjaga hak rakyat atas rasa aman dan hak untuk hidup damai. Di tengah ancaman kekerasan bersenjata, TNI tetap memegang teguh komitmen untuk menegakkan hukum, melindungi rakyat, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selasa, 14 Oktober 2025
(Redaksi (JIS))