JAYAPURA - Pernyataan provokatif kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) kembali mencuat. Mereka menolak rencana pembangunan pos militer TNI di Puncak Jaya serta sembilan wilayah lain yang mereka klaim sebagai “zona perang.” Tidak hanya itu, OPM bahkan melontarkan ancaman akan menyerang aparat TNI-Polri dan mengusir masyarakat non-Papua dari wilayah tersebut. Jum'at (29/08/2025).
Ancaman ini langsung menuai kecaman. Sebab, secara hukum dan konstitusi, keberadaan TNI di Papua adalah langkah sah, legal, dan konstitusional untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tuduhan bahwa TNI hadir untuk menindas masyarakat Papua dinilai tidak hanya menyesatkan, tetapi juga bentuk propaganda yang berbahaya.
Mandat Konstitusi, Kehadiran yang Sah
Kehadiran TNI di Papua memiliki dasar hukum yang kuat. Pasal 30 UUD 1945 menegaskan bahwa TNI adalah alat negara untuk menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Hal itu dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang memberi kewenangan kepada TNI untuk:
* mengamankan wilayah perbatasan,
* mengatasi gerakan separatis bersenjata,
* serta membangun dan menggunakan sarana-prasarana untuk mendukung tugas pokoknya.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 memperkuat peran Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) sebagai garda terdepan menghadapi ancaman strategis di daerah rawan, termasuk Papua.
Dengan demikian, pembangunan pos militer di daerah rawan seperti Puncak Jaya adalah bagian dari operasi pengamanan negara, bukan provokasi. Tujuannya jelas: melindungi warga sipil, menjaga pembangunan nasional, dan mencegah eskalasi kekerasan.
Pendekatan Humanis, Bukan Militeristik Semata
Stigma bahwa TNI hadir hanya dengan pendekatan kekuatan bersenjata juga dibantah. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua, TNI menjalankan pendekatan teritorial yang humanis dan inklusif.
Selain tugas pengamanan, TNI juga aktif mendukung pemerintah daerah dalam:
* pelayanan pendidikan dan kesehatan,
* membantu pembangunan infrastruktur,
* serta membangun komunikasi sosial dengan masyarakat Papua.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa kehadiran TNI tidak bisa dilihat semata-mata dari sisi militeristik, melainkan juga sebagai bagian dari misi kemanusiaan dan pembangunan.
Ancaman OPM, Melanggar HAM dan Hukum Humaniter
Di sisi lain, tindakan OPM yang mengancam masyarakat non-Papua, menyerang guru, tenaga medis, pekerja proyek, hingga fasilitas umum, justru masuk kategori tindak pidana terorisme. Hal ini diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menegaskan bahwa penggunaan kekerasan menimbulkan teror luas terhadap masyarakat sipil adalah tindak terorisme.
Lebih jauh, serangan OPM juga melanggar prinsip Hukum Humaniter Internasional, seperti:
* Distinction: membedakan kombatan dan warga sipil,
* Proportionality: tidak menimbulkan kerugian berlebihan pada masyarakat,
* Precaution: serangan harus terencana, bukan membabi buta.
Artinya, klaim perjuangan OPM justru bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan dan hukum internasional yang mereka gaungkan.
Negara Hadir, Papua Aman
Kesimpulannya, keberadaan TNI di Papua adalah bentuk nyata kehadiran negara untuk melindungi seluruh warga negara tanpa kecuali. TNI bukan alat penindas, melainkan penjaga kedaulatan dan pelindung masyarakat.
Segala upaya OPM menciptakan teror harus ditolak. Negara hukum tidak memberi tempat bagi kekerasan. TNI berkomitmen menjalankan tugas secara profesional, akuntabel, dan tetap berpegang pada prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan pendekatan keamanan yang tegas sekaligus humanis, pemerintah menegaskan bahwa Papua adalah bagian sah NKRI. Tugas utama TNI adalah memastikan rakyat Papua hidup aman, damai, dan dapat menikmati pembangunan secara adil tanpa gangguan senjata.
Authentication:
Dansatgas Media HABEMA, Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono